Saturday, June 27, 2009

Perbahasan Allah Dalam Al-Quran







Kitab Suci Al-Quran terdiri dari petunjuk-petunjuk yang mengarah kepada kasih Allah s.w.t. Firman-firman itu menggambarkan keindahan Wujud-Nya dan mengingatkan akan kerahiman-Nya, dimana kecintaan kepada Tuhan tercipta melalui penghayatan keindahan itu atau karena menyadari kerahiman tersebut. Al-Quran mengajarkan bahwa dengan memperhatikan segala kemuliaan-Nya maka disimpulkan kalau Tuhan itu Maha Esa tanpa sekutu. Dia tidak memiliki cacat apa pun. Dia merangkum segala sifat yang baik dan memanifestasikan semua kekuatan suci-Nya. Dia adalah sumber dari segala ciptaan dan mata air dari berkat. Dia adalah pemilik dari semua ganjaran dan segala-galanya akan kembali kepada-Nya. Dia itu dekat tetapi juga jauh, Dia itu jauh tetapi juga dekat.
Dia berada di atas segalanya, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa ada seseorang di bawah-Nya. Dia itu lebih tersembunyi dari segalanya tetapi tidak bisa dikatakan bahwa ada yang lebih mewujud dari sosok-Nya. Dia itu ada dengan sendiri-Nya dan segalanya hidup karena-Nya. Dia itu eksis dengan sendiri-Nya dan semuanya eksis melalui-Nya. Dia itu tegak dengan sendiri-Nya dan tak ada satu pun yang menopang-Nya. Tidak ada apa pun yang mewujud atas dirinya sendiri atau bisa hidup sendiri tanpa Dia. Dia meliputi keseluruhan tetapi tidak bisa dikatakan apakah sifat peliputan itu. Dia adalah Nur bagi semua yang ada di langit dan di bumi, setiap sinar memancar keluar dari tangan-Nya dan menjadi refleksi daripada Wujud-Nya. Dia adalah yang menghidupi alam semesta. Tidak ada jiwa yang tidak dihidupi oleh-Nya dan eksis dengan sendirinya. Tidak ada jiwa yang memiliki kekuatan bukan dari Wujud-Nya dan yang eksis dari dirinya sendiri.

Dua Jenis rahmat ilahi


Sifat kasih-Nya terdiri dari dua macam jenis. Pertama, adalah sifat rahman yang secara abadi dimanifestasikan tanpa tergantung pada tindakan atau amalan siapa pun. Sebagai contoh, langit dan bumi, matahari, bulan dan bintang-bintang, air, udara dan api serta semua partikel di alam ini yang diciptakan bagi keselesaan dan kebutuhan kita, yang seluruhnya telah tersedia sebelum kita sendiri mewujud. Semuanya itu sudah ada sebelum kita hadir. Tidak ada amalan apa pun yang berasal dari kita. Siapa yang bisa mengatakan bahwa matahari itu diciptakan karena hasil kerja seseorang, atau bumi terhampar sebagai akibat dari amal baik dirinya? Ini adalah sifat rahman yang sudah berjalan sebelum terciptanya manusia dan bukan merupakan hasil kerja manusia. Adapun sifat kasih Ilahi yang kedua yaitu kerahiman akan berjalan sebagai akibat dari tindakan atau amalan manusia. Hal-hal seperti ini tidak memerlukan ilustrasi.

Allah itu bersih dari segala cacat

Kitab Suci Al-Quran mengemukakan bahwa Allah s.w.t. itu bebas dari segala cacat dan tidak memiliki kecenderungan merugi. Dia menginginkan agar manusia mensucikan dirinya dari segala kekotoran melalui ketaatan kepada petunjuk yang telah diberikan-Nya. Dia telah berfirman:

“Barangsiapa buta di dunia ini maka di akhirat pun ia akan buta juga” (S.17 Bani Israil:73).

Berarti barangsiapa yang tidak memiliki wawasan di dunia ini dan tidak mampu melihat Wujud yang tanpa banding tersebut, akan buta juga setelah matinya dan terkungkung dalam kegelapan. Begitu juga dengan manusia yang dikaruniai wawasan dalam kehidupan ini untuk menyaksikan Tuhan dan ia tidak membawa wawasan tersebut dari dunia ini bersama dirinya, maka ia pun tidak akan dapat melihat Allah s.w.t. di akhirat. Allah yang Maha Kuasa telah menjelaskan dalam ayat di atas, kemajuan seperti apa yang diinginkan dari manusia dan berapa jauh yang dapat dicapai manusia jika mengikuti petunjuk-Nya. Allah s.w.t. mengemukakan petunjuk dalam Al-Quran yang jika diikuti akan memungkinkan manusia melihat Wujud-Nya bahkan dalam kehidupan sekarang ini. Kita diajarkan untuk:

“Barangsiapa mengharap akan bertemu dengan Tuhan-nya, hendaklah ia beramal saleh dan janganlah ia mempersekutukan siapa-jua pun dalam beribadah kepada Tuhan-nya” (S.18 Al-Kahf:111).

Berarti barangsiapa yang menginginkan bertemu dengan Tuhan yang Maha Pencipta, dalam kehidupan sekarang ini, haruslah berlaku saleh, atau dengan kata lain, perilakunya bersih dari segala cacat dan tindakannya itu tidak untuk mengagulkan diri atau pun untuk dibanggakan. Amalannya tidak boleh cacat atau kurang sempurna, tidak juga berbau apa pun yang tidak konsisten dengan kecintaan pribadinya kepada Allah s.w.t. Semua kegiatannya harus bernafaskan ketulusan dan keimanan. Ia tidak akan menyekutukan apa pun kepada Allah s.w.t. dan tidak akan menyembah matahari atau bulan, atau air atau api, pokoknya tidak ada apa pun yang disembahnya selain Tuhan. Ia tidak boleh mengagungkan sarana duniawi sedemikian rupa sehingga ia tergantung kepadanya dan menjadikannya sebagai sekutu Tuhan. Tidak juga semata-mata bergantung kepada usaha dan upayanya sendiri karena ini juga merupakan bentuk mempersekutukan Tuhan. Walaupun ia telah melakukan segala-galanya, ia harus menganggapnya sebagai belum melakukan apa pun. Ia tidak akan membanggakan diri atas pengetahuan yang dimilikinya, tidak juga bergantung kepada amalannya. Ia harus menganggap dirinya sangat bodoh dan malas, dimana jiwanya selalu bersujud di hadapan Allah yang Maha Perkasa. Ia akan menarik rahmat Tuhan kepada dirinya melalui doanya. Ia harus seperti orang yang kehausan dan tanpa daya yang menemukan mata air di depannya yang berair jernih dan manis, dimana ia merangkak ke arah mata air itu serta mencucupkan bibirnya dan minum sepuasnya dari mata air itu sehingga ia benar-benar kenyang.

Dalam Al-Quran, Allah s.w.t. menguraikan sifat-sifat-Nya sebagai:

“Katakanlah: Dia-lah Allah yang Maha Esa, Allah yang tidak bergantung pada sesuatu dan segala sesuatu bergantung pada-Nya. Dia tidak memperanakkan dan tidak pula Dia diperanakkan, dan tiada seorang pun menyamai Dia” (S.112 Al-Ikhlas:2-5).

Berarti bahwa Tuhan kita adalah Maha Esa dalam Wujud-Nya dan dalam Sifat-sifat-Nya. Tidak ada wujud lainnya yang bersifat abadi dan tegak dengan sendirinya seperti Wujud-Nya. Begitu juga sifat-sifat dari wujud lain yang menyamai Sifat-sifat-Nya. Pengetahuan seseorang membutuhkan seorang guru dan itu pun tetap terbatas. Pengetahuan Tuhan tidak memerlukan guru dan tanpa batas. Kemampuan pendengaran seseorang tergantung kepada udara dan bersifat terbatas, tetapi sifat mendengar Allah s.w.t. bersifat inheren dan tanpa batas. Kemampuan penglihatan manusia tergantung kepada adanya sinar matahari atau sumber sinar lainnya serta bersifat terbatas, sedangkan penglihatan Tuhan adalah berasal dari Nur yang inheren dalam Wujud-Nya dan tanpa batasan apa pun. Kemampuan manusia untuk mencipta tergantung pada sarana dan waktu serta bersifat terbatas. Kemampuan Allah mencipta tidak bergantung pada apa pun, tidak juga pada waktu dan bersifat tanpa batas. Semua sifat-sifat-Nya tanpa banding dan tidak ada apa pun yang sepadan dengan Wujud-Nya atau pun sifat-sifat-Nya. Jika ada sifat-Nya yang dianggap cacat maka keseluruhan sifat-Nya juga pasti akan cacat dan karena itu ke-Esaan-Nya tidak bisa ditegakkan sepanjang belum menyadari bahwa Dia itu tidak ada yang menyamai dalam Wujud-Nya. Dia bukan putra siapa pun dan tidak ada siapa pun yang menjadi putra-Nya. Dia itu tegak dengan sendiri-Nya dan tidak membutuhkan ayah atau pun anak. Inilah Ketauhidan yang diajarkan Al-Quran dan menjadi dasar dari agama kita. (Mirza Ghulam Ahmad dalam khutbah Lahore, Lahore, Rifahi Aam Steam Press, 1904; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 20, hal. 152-155, London, 1984. Diterjemahkan Oleh A.Q Khalid).

0 comments:

Post a Comment

Template by:
Free Blog Templates